Thursday, March 19, 2009
Mencintai ilmu....
Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air. (HR ath-Thabrani dari Abu Darda’ ra.).
Dalam sejarah, tidak ditemukan suatu agama yang mendorong pemeluk-nya untuk memberikan pengajaran kepada anak-anak seperti Islam. Islam menjadikan seorang Muslim memiliki antusiasme yang sangat tinggi untuk belajar dan mengajar. Antusiasme inilah yang menjadikan mereka sangat isimewa sepanjang sejarahnya yang panjang. Apalagi bagi mereka, menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama, yang bisa dijadikan media untuk mendekatkan diri kepada Alllah.
Masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur untuk melakukan pembinaan keilmuan dan pemikiran. Pada masa ini daya tangkap dan daya serap otak mereka berada pada kemampuan maksimal; dada mereka lebih longgar dan lebih hapal terhadap apa yang mereka dengar. Abu Hurairah ra. meriwayatkan secara marfû’, bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Siapa yang mempelajari al-Quran ketika masih muda, maka al-Quran itu akan menyatu dengan daging dan darahnya. Siapa yang mempelajarinya ketika dewasa, sedangkan ilmu itu akan lepas darinya dan tidak melekat pada dirinya, maka ia mendapatkan pahala dua kali. (HR al-Baihaqi, ad-Dailami, dan al-Hakim).
Agar para orangtua dapat mengarahkan anak melangkah menuju ilmu, belajar, serta mencintai ilmu dan ulama, ada beberapa hal penting yang harus ditempuh:
1. Tanamkan bahwa menuntut ilmu adalah perintah Allah Swt.
Kecintaan anak kepada Allah, yang seyogyanya sudah terlebih dulu ditanamkan, akan memunculkan ketaatan pada perintah-Nya dan takut akan azab-Nya, termasuk dalam menuntut ilmu. Cinta dan takut kepada Allah akan memunculkan sikap konsisten dalam mencari ilmu tanpa bosan dan dihinggapi rasa putus asa.
2. Tanamkan bahwa al-Quran adalah sumber kebenaran.
Al-Quran sebagai sumber kebenaran (QS al-Maidah [5]: 48) sejak awal harus disampaikan oleh orangtua kepada anak. Semua yang benar menurut al-Quran itulah yang harus dan boleh dilakukan. Ini memerlukan keteladanan orangtua. Dengan begitu, anak akan melihat realisasi al-Quran sebagai sumber kebenaran dalam setiap perilaku orangtuanya. Begitu pula ketika menilai suatu keburukan, semuanya dinilai dengan standar al-Quran.
3. Ajarkan metode belajar yang benar menurut Islam.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab As-Syakhshiyah al-Islâmiyyah jilid 1, bahwa Islam mengajarkan metode belajar yang benar, yaitu:
1. Mempelajari sesuatu dengan mendalam hingga dipahami apa yang dipelajari dengan benar.
2. Meyakini ilmu yang sedang dipelajari hingga bisa dijadikan dasar untuk berbuat.
3. Sesuatu yang dipelajari bersifat praktis, bukan sekadar teoretis, hingga dapat menyelesaikan suatu masalah.
Dalam mempelajari alam semesta, misalnya, dikatakan secara teoretis bahwa bulan mengelilingi bumi. Untuk menjadikannya sebagai pemahaman yang mendalam haruslah anak diajak melihat fakta bulan, yang dari hari ke hari berubah bentuk dan besarnya. Dengan demikian, anak pun menjadi yakin bahwa perubahan tanggal setiap harinya adalah karena peredaran bulan. Dengan begitu, ia dapat mengetahui bahwa menentukan tanggal satu Ramadhan, misalnya, adalah dengan melihat bulan.
4. Memilihkan guru dan sekolah yang baik bagi anak.
Guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan ilmu. Para Sahabat dan Salaf ash-Shâlih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak mereka.
Ibnu Sina dalam kitabnya, As-Siyâsah, mengatakan, “Seyogyanya seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan dan dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya.”
Imam Mawardi (dalam Nashîhah al-Mulûk hlm. 172) menegaskan urgensi memilih guru yang baik dengan mengatakan, “Wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang diambil dari orangtuanya sendiri.”
Begitupun memilihkan sekolah yang baik yang di dalamnya diajarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama, apalagi yang merusak akidah anak-anak Muslim. Banyak orangtua memilih sekolah untuk anaknya sekadar agar anak dapat memperoleh ilmu dan prestasi yang bagus, tetapi lupa akan perkembangan kekokohan akidah dan akhlaknya.
Namun demikian, tentulah guru yang paling pertama dan utama adalah orangtuanya, dan sekolah yang paling pertama dan utama adalah rumah tempat tinggalnya bersama orangtua.
5. Mengajari anak untuk memuliakan para ulama.
Abu Umamah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): Ada tiga manusia, tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang munafik. Mereka adalah orangtua, ulama, dan pemimpin yang adil. (HR ath-Thabrani).
Ulama adalah pewaris para nabi. Memuliakan dan menghormati mereka, bersikap santun dan lembut di dalam bergaul dengan mereka, adalah di antara adab yang harus dibiasakan sejak kanak-kanak. Memuliakan ulama menjadikan anak akan memuliakan ilmu yang diterimanya, yang dengannya Allah menghidupkan hati seseorang. Abu Umamah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, engkau harus duduk dekat dengan ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan hujan deras.” (HR ath-Thabrani).
6. Membiasakan seluruh keluarga membaca dan menghapal ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi saw.
Dalam membina akidah anak, mengajarkan al-Quran dan Hadis Nabi saw. adalah hal yang utama dalam membentuk mentalitas anak. Keduanya merupakan sumber untuk menghidupkan ilmu yang akan menyinari dan menguatkan akal. Para Sahabat ra. sangat berambisi sekali mengikat anak-anak mereka dengan al-Quran. Anas bin Malik ra., setiap kali mengkhatamkan al-Quran, mengumpul-kan istri dan anak-anaknya, lalu berdoa untuk kebaikan mereka.
Pada masa Rasulullah saw. masih hidup, Ibnu Abbas ra. telah hapal al-Quran pada usia sepuluh tahun. Imam Syafii rahimahullâh telah hapal al-Quran pada usia tujuh tahun. Imam al-Bukhari mulai menghapal hadis ketika duduk dibangku madrasah dan mengarang kitab At-Târîkh pada usia 18 tahun.
7. Membuat perpustakaan rumah, sekalipun sederhana.
Mempelajari ilmu tak akan lepas dari kitab ataupun buku-buku sebagai media referensi yang senantiasa akan memenuhi kebutuhan ilmu. Keberadaan perpustakaan rumah menjadi hal yang sangat penting untuk mengkondisikan anak-anak seantiasa dekat dengan ilmu dan bersahabat dengan kitab-kitab ilmu.
Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam Risâlah-nya, Sarana Paling Efektif dalam Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Islam yang Murni, mengatakan, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-buku sejarah Islam, biografi Salafus Shâlih, buku-buku akhlak, hikmah, kisah perjalanan para ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah penaklukan berbagai negeri, dan semisalnya….”
8. Mengajak anak menghadiri majelis-majelis kaum dewasa.
Nabi saw. pernah menceritakan bahwa beliau ketika masih kecil juga turut menghadiri majelis-majelis kaum dewasa. Beliau mengatakan: “Aku biasa menghadiri pertemuan-pertemuan para pemuka kaum bersama paman-pamanku….” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad sahih dalam Musnad-nya [2/157] dan oleh Ahmad [1/190]).
Dengan membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, akalnya akan meningkat, jiwanya akan terdidik, semangat dan kecintaannya kepada ilmu akan semakin kuat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment